Thursday, 4 April 2019

Pelaksanaan Bahmacari Membawa Akibat Bagi leluhurnya

April 04, 2019


“Pelaksanaan Bahmacari Membawa Akibat Bagi leluhurnya

Tersebutlah seorang Brahmana yang bernama sang Jaratkaru. Ia yang bernama Jaratkaru, sangatlah takut pada kesengsaraan hidup ini. Jaratkaru adalah putra seorang wiku terpilih atas ketetapan budinya. Beliau begitu rajin mengambil butir-butir padi yang tercecer di jalan atau di sawah lalu dipungut dan dicucinya. Apabila sudah terkumpul banyak lalu ditanaknya, digunakan sebagai korban kepada para Dewa dan juga untuk di hidangkan kepada para tamu. Demikianlah ketetapan budi leluhurnya Jaratkaru, tidak terikat oleh cinta asmara, tidak memikirkan istri melainkan bertapa sajalah yang dipentingkan.
Dikisahkan sekarang Sang Maha Raja Parikesit berburu kemudian dikutuk oleh Bhagawan Srenggi supaya digigit naga Taksaka. Pada kesempatan itulah Jaratkaru bertapa. Setelah ia berhasil bertapa mahir atas segala mantra-mantra ia dibolehkan memasuki segala tempat, termasuk tempat-tempat yang dikehendaki yaitu tempat di antara surga dan neraka namanya Ayatanasthana. Pada tempat neraka ditemukan roh leluhurnya sadang terhukum tergantung pada pohon bamboo besar, mukanya tertelungkup ke bawah kakinya diikat sedangkan di bawahnya ada jurang yang sangat dalam, jalan akan menuju kawah neraka. Roh akan tepat jatuh ke kawah apabila tali gantungan itu putus. Di lain pihak seekor tikus sedang menggigit pohon bamboo tersebut. Peristiwa ini sangat kritis dan sangat mengerikan bagi para roh yang terhukum. Melihat kejadian ini Jaratkaru berlinang-linang air matanya kasihan menyaksikan roh terhukum tersebut.
Didekatilah roh itu dan ditanya satu persatu penyebab ia sampai terhukum seperti itu. Semua roh menyampaikan suatu alas an penyebabnya, seperti mencuri, irihati, memfitnah, berzina dan lain-lain yang menurut Jaratkaru memang pantas pula mendapatkan hukuman seperti itu. Kemudian akhirnya Sang Jaratkaru menanyakan penyebabnya sampai terhukum, lalu roh itu menjawab, saya ini yang kau tanyai, saya akan katakana keadaan saya semua, keturunan kami putus itulah sebabnya saya pisah dari dunia leluhur dan tergantung di bamboo besar ini seakan-akan sudah masuk neraka. Saya punya seorang keturunan bernama Jaratkaru. Ia pergi karena ingin melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tidak punya istri, karena menjadi seorang brahmacari sejak masih kecil.

Itulah sebabnya saya ada di buluh ini, karena berate semadinya keturunan saya di asrama pertapaannya. Mungkin ia telah hebat ilmunya namun apabila putus keturunannya niscaya tidak ada buah dari tapanya. Saya tidak berbeda seperti orang yang melaksanakan perbuatan hina yang pantas mendapat sengsara. Rugi rupanya perbuatan saya yang baik pada waktu hidup. Kalau kiranya engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kasihannya sang wiku Jaratkaru supaya suka berketurunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para leluhur, katakanlah bahwa saya menderita sengsara, supaya ia juga berbelas kasihan.
Mendengar kata-kata leluhurnya itu, makin berlinang-linang air matanya dan tanpa disadari ia menangis, hatinya makin tersayat melihat leluhurnya menderita, lalu berkata : “ saya inilah yang bernama Jaratkaru, seorang keturunanmu yang gemar bertapa, bertekad menjadi brahmacari, kiranya sekaranglah penderitaanmu berakhir sebab selalu sempurna tapa yang telah berlangsung. Adapun kalau itu yang menjadi kendala untuk kembali ke surga, janganlah khawatir, saya akan memberhentikan kebrahmacarian saya”.
Saya akan mencari istri agar mempunyai anak. Adapun istri yang saya kehendaki adalah istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tidak ada pertentangan dalam perkawinan saya. Kalau saya telah berputra saya akan menjadi brahmacari lagi. Demikian kata Sang Jaratkaru dan pergilah ia mencari istri yang senama dengan dia. Semua penjuru sudah dimasukinya namun belum mendapatkan istri yang senama dengan dia, maka dia tidak tahu apa yang akan dikerjakan dengan tanpa disadari dia mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara.
Kemudian masuklah ia ke hutan sunyi, sambil menangis mengeluh kepada segala makhluk, termasuk makhluk yang tidak bergerak. Saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri berilah saya istri yang senama dengan saya Jaratkaru, supaya saya berputra, supaya leluhur saya pulang ke surga. Seru dan tangis sang Jaratkaru terdengar oleh para naga, dalam waktu singkat disuruhlah para naga mencari brahmana itu yang bernama Jaratkaru oleh Sang Basuki, yang akan diberikan pada adiknya yang bernama Nagini yang diberi nama Jaratkaru agar mempunyai anak brahmana yang akan menghindarkan dirinya dari korban ular.
Terjadilah perkawinan kedua mempelai Jaratkaru yang senama, dengan berbagai upacara. Kemudian Sang Jaratkaru mengadakan perjanjian kepada sang istri yaitu jangan engkau mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan perasaan, demikian pula berbuat yang tidak senonoh. Kalau hal itu kau perbuat engkau akan kutinggalkan. Demikianlah kata Sang Jaratkaru kepada istrinya, lalu merekapun hidup bersama. Beberapa bulan kemudian terlihatlah tanda-tanda bahwa istrinya hamil.
Pada suatu waktu ia akan tidur, ia minta ditunggui oleh istrinya, karena dikiranya akan ditinggalkan. Ia minta agar kepalanya dipangku oleh istrinya dan tidak mengganggunya selama beliau tidur. Dengan hati-hati istrinya memangku suaminya yang cukup lama sampai waktu senja tepat waktu waktu pemujaan. Lalu sang Nagini Jaratkaru membangunkan brahmana Jaratkaru, takut kelewatan waktu memuja. Setelah membangunkan Jaratkaru justru terbalik, brahmana Jaratkaru malah marah-marah mukanya merah karena marahnya. Brahmana berseru “Hai Nagini (Jaratkaru) jahanam! Sangatlah penghinaanmu sebagai istri, engkau berani mengganggu tidurku! Tidak selayaknya tingkah laku istri seperti tingkahmu itu. Sekarang engkau akan ketinggalkan”. Demikian kata-katanya lalu memandang kepada istrinya.
Nagini mengikutinya, lari lalu memeluk kaki suaminya. “Oh tuanku, Ampunilah hamba tuanku ini. Tidak karena hinaan hamba membangunkan tuanku. Tetapi hanya memperingatkan tuanku akan waktu pemujaan setiap hari waktu senja. Salah kiranya, karena itu hamba menyembah, minta ampun tuanku, baik kiranya tuanku kembali……kalau hamba sudah punya anak yang akan menghindarkan keluarga hamba dari korban ular, sejak itulah tuanku boleh bertapa kembali”.
Demikian Nagini minta belas kasihan. Jaratkaru menjawab “Alangkah baiknya perbuatanmu, Nagini, memperingatkan pemujaan kepadaku pada waktu senja, tapi sama sekali aku tidak dapat mencabut perkataanku untuk meninggalkan engkau. Jangan khawatir keinginanmu untuk memiliki Asti, anakmu sudah ada. Itulah yang akan melindungimu kelak pada waktu korban ular. Senanglah Nagini Jaratkaru. Sang Nagini ditinggalkannya. Nagini lalu mengatakan kepada Sang Basuki tentang kepergian suaminya. Mengatakan segala perkataan Sang Jaratkaru, dan mengatakan pula tentang isi kandunganya, yang menyebabkan girangnya sang Basuki. Setelah berselang beberapa lama lahir seorang bayi laki-laki sempurna keadaan badannya. Kemudian diberi nama Sang Astika, karena bapaknya hilang “asti”. Bayi itu disambut oleh Sang Basuki dan diberi upacara sebagai seorang Brahmana. Baru lahir Sang Astika seketika itu leluhur yang bergantungan tadi lepas dari penderitaan dan melayang ke surga mengenyam hasil tapanya dahulu. Demikian pula Naga Taksaka terhindar dari korban ular yang dilangsungkan oleh raja Janamejaya.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 AGAMA HINDU CERDAS. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top