“Pelaksanaan Bahmacari Membawa Akibat Bagi leluhurnya
Tersebutlah seorang Brahmana yang
bernama sang Jaratkaru. Ia yang bernama Jaratkaru,
sangatlah takut pada kesengsaraan hidup ini. Jaratkaru adalah putra seorang
wiku terpilih atas ketetapan budinya. Beliau begitu rajin mengambil butir-butir
padi yang tercecer di jalan atau di sawah lalu dipungut dan dicucinya. Apabila
sudah terkumpul banyak lalu ditanaknya, digunakan sebagai korban kepada para
Dewa dan juga untuk di hidangkan kepada para tamu. Demikianlah ketetapan budi
leluhurnya Jaratkaru, tidak terikat oleh cinta asmara, tidak memikirkan istri
melainkan bertapa sajalah yang dipentingkan.
Dikisahkan sekarang Sang Maha Raja
Parikesit berburu kemudian dikutuk oleh Bhagawan Srenggi supaya digigit naga
Taksaka. Pada kesempatan itulah Jaratkaru bertapa. Setelah ia berhasil bertapa
mahir atas segala mantra-mantra ia dibolehkan memasuki segala tempat, termasuk
tempat-tempat yang dikehendaki yaitu tempat di antara surga dan neraka namanya
Ayatanasthana. Pada tempat neraka ditemukan roh leluhurnya sadang terhukum
tergantung pada pohon bamboo besar, mukanya tertelungkup ke bawah kakinya
diikat sedangkan di bawahnya ada jurang yang sangat dalam, jalan akan menuju
kawah neraka. Roh akan tepat jatuh ke kawah apabila tali gantungan itu putus.
Di lain pihak seekor tikus sedang menggigit pohon bamboo tersebut. Peristiwa
ini sangat kritis dan sangat mengerikan bagi para roh yang terhukum. Melihat
kejadian ini Jaratkaru berlinang-linang air matanya kasihan menyaksikan roh
terhukum tersebut.
Didekatilah roh itu dan ditanya satu
persatu penyebab ia sampai terhukum seperti itu. Semua roh menyampaikan suatu
alas an penyebabnya, seperti mencuri, irihati, memfitnah, berzina dan lain-lain
yang menurut Jaratkaru memang pantas pula mendapatkan hukuman seperti itu.
Kemudian akhirnya Sang Jaratkaru menanyakan penyebabnya sampai terhukum, lalu
roh itu menjawab, saya ini yang kau tanyai, saya akan katakana keadaan saya
semua, keturunan kami putus itulah sebabnya saya pisah dari dunia leluhur dan
tergantung di bamboo besar ini seakan-akan sudah masuk neraka. Saya punya
seorang keturunan bernama Jaratkaru. Ia pergi karena ingin melepaskan ikatan
kesengsaraan orang, ia tidak punya istri, karena menjadi seorang brahmacari
sejak masih kecil.
Itulah sebabnya saya ada di buluh
ini, karena berate semadinya keturunan saya di asrama pertapaannya. Mungkin ia
telah hebat ilmunya namun apabila putus keturunannya niscaya tidak ada buah
dari tapanya. Saya tidak berbeda seperti orang yang melaksanakan perbuatan hina
yang pantas mendapat sengsara. Rugi rupanya perbuatan saya yang baik pada waktu
hidup. Kalau kiranya engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kasihannya sang
wiku Jaratkaru supaya suka berketurunan, supaya saya dapat pulang ke tempat
para leluhur, katakanlah bahwa saya menderita sengsara, supaya ia juga berbelas
kasihan.
Mendengar kata-kata leluhurnya itu,
makin berlinang-linang air matanya dan tanpa disadari ia menangis, hatinya
makin tersayat melihat leluhurnya menderita, lalu berkata : “ saya inilah yang
bernama Jaratkaru, seorang keturunanmu yang gemar bertapa, bertekad menjadi
brahmacari, kiranya sekaranglah penderitaanmu berakhir sebab selalu sempurna tapa
yang telah berlangsung. Adapun kalau itu yang menjadi kendala untuk kembali ke
surga, janganlah khawatir, saya akan memberhentikan kebrahmacarian saya”.
Saya akan mencari istri agar
mempunyai anak. Adapun istri yang saya kehendaki adalah istri yang namanya sama
dengan nama saya supaya tidak ada pertentangan dalam perkawinan saya. Kalau
saya telah berputra saya akan menjadi brahmacari lagi. Demikian kata Sang
Jaratkaru dan pergilah ia mencari istri yang senama dengan dia. Semua penjuru
sudah dimasukinya namun belum mendapatkan istri yang senama dengan dia, maka
dia tidak tahu apa yang akan dikerjakan dengan tanpa disadari dia mencari
pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara.
Kemudian masuklah ia ke hutan sunyi,
sambil menangis mengeluh kepada segala makhluk, termasuk makhluk yang tidak
bergerak. Saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri berilah saya
istri yang senama dengan saya Jaratkaru, supaya saya berputra, supaya leluhur
saya pulang ke surga. Seru dan tangis sang Jaratkaru terdengar oleh para naga,
dalam waktu singkat disuruhlah para naga mencari brahmana itu yang bernama
Jaratkaru oleh Sang Basuki, yang akan diberikan pada adiknya yang bernama
Nagini yang diberi nama Jaratkaru agar mempunyai anak brahmana yang akan
menghindarkan dirinya dari korban ular.
Terjadilah perkawinan kedua mempelai
Jaratkaru yang senama, dengan berbagai upacara. Kemudian Sang Jaratkaru
mengadakan perjanjian kepada sang istri yaitu jangan engkau mengatakan sesuatu
yang tidak mengenakan perasaan, demikian pula berbuat yang tidak senonoh. Kalau
hal itu kau perbuat engkau akan kutinggalkan. Demikianlah kata Sang Jaratkaru
kepada istrinya, lalu merekapun hidup bersama. Beberapa bulan kemudian
terlihatlah tanda-tanda bahwa istrinya hamil.
Pada suatu waktu ia akan tidur, ia
minta ditunggui oleh istrinya, karena dikiranya akan ditinggalkan. Ia minta
agar kepalanya dipangku oleh istrinya dan tidak mengganggunya selama beliau
tidur. Dengan hati-hati istrinya memangku suaminya yang cukup lama sampai waktu
senja tepat waktu waktu pemujaan. Lalu sang Nagini Jaratkaru membangunkan
brahmana Jaratkaru, takut kelewatan waktu memuja. Setelah membangunkan
Jaratkaru justru terbalik, brahmana Jaratkaru malah marah-marah mukanya merah
karena marahnya. Brahmana berseru “Hai Nagini (Jaratkaru) jahanam! Sangatlah
penghinaanmu sebagai istri, engkau berani mengganggu tidurku! Tidak selayaknya
tingkah laku istri seperti tingkahmu itu. Sekarang engkau akan ketinggalkan”.
Demikian kata-katanya lalu memandang kepada istrinya.
Nagini mengikutinya, lari lalu
memeluk kaki suaminya. “Oh tuanku, Ampunilah hamba tuanku ini. Tidak karena
hinaan hamba membangunkan tuanku. Tetapi hanya memperingatkan tuanku akan waktu
pemujaan setiap hari waktu senja. Salah kiranya, karena itu hamba menyembah,
minta ampun tuanku, baik kiranya tuanku kembali……kalau hamba sudah punya anak
yang akan menghindarkan keluarga hamba dari korban ular, sejak itulah tuanku
boleh bertapa kembali”.
Demikian Nagini minta belas kasihan. Jaratkaru menjawab
“Alangkah baiknya perbuatanmu, Nagini, memperingatkan pemujaan kepadaku pada
waktu senja, tapi sama sekali aku tidak dapat mencabut perkataanku untuk
meninggalkan engkau. Jangan khawatir keinginanmu untuk memiliki Asti, anakmu
sudah ada. Itulah yang akan melindungimu kelak pada waktu korban ular.
Senanglah Nagini Jaratkaru. Sang Nagini ditinggalkannya. Nagini lalu mengatakan
kepada Sang Basuki tentang kepergian suaminya. Mengatakan segala perkataan Sang
Jaratkaru, dan mengatakan pula tentang isi kandunganya, yang menyebabkan
girangnya sang Basuki. Setelah berselang beberapa lama lahir seorang bayi
laki-laki sempurna keadaan badannya. Kemudian diberi nama Sang Astika, karena
bapaknya hilang “asti”. Bayi itu disambut oleh Sang Basuki dan diberi upacara
sebagai seorang Brahmana. Baru lahir Sang Astika seketika itu leluhur yang
bergantungan tadi lepas dari penderitaan dan melayang ke surga mengenyam hasil
tapanya dahulu. Demikian pula Naga Taksaka terhindar dari korban ular yang
dilangsungkan oleh raja Janamejaya.
0 comments:
Post a Comment