Kewajiban
dalam Brahmacari
Sebagai seorang siswa yang sedang
menuntut ilmu pengetahuan ia harus taat terhadap petunjuk dan nasihat yang
diajarkan oleh guru yang mengajarnya. Dalam ajaran agama Hindu dikenal empat
guru yang disebut Catur Guru yaitu :
1. Guru Swadhyaya yaitu Ida Sang Hyang
Widhi Wasa.
Adapun kewajiban sebagai seorang
siswa terhadap Guru Swadhyaya tersebut, harus taat terhadap segala petunjuk dan
ajaran-Nya. Sebagai umat yang percaya tentang kemahakuasaan Tuhan, yang
merupakan sumber dari segala yang ada di dunia ini, maka taat kepada Guru
Swadhyaya dapat diwujudkan dengan cara sujud bhakti memujanya.
Berguru ke hadapan Tuhan dapat
dilakukan dengan cara mentaati ajaran suci yang telah diwahyukan melalui para
maharsi. Setiap hari kita harus mendekatkan diri pada Beliau sebagai Guru dari
semua guru. Dalam hubungan ini kita manusia adalah murid dari Sang Hyang Widhi
(Tuhan), yang sering disebut dengan “Brahmacarin”. Brahman artinya Tuhan. Carin
artinya berguru. Jadi berguru kepada Tuhan
Amal baik atau perbuatan dosa yang
dilakukan selama berguru kepada Hyang Widhi hasilnya berupa subha dan asubha
karma. Subha asubha karma ini dapat
diterima hasilnya berupa:
a. Sancita karmaphala
Hasil perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmatinya sehingga
hasil perbuatannya itu akan menjadi benih yang sangat menentukan pada kehidupan
yang sekarang.
b. Prarabda karmaphala
Karma yang dilakukan oleh seseorang
pada kehidupan sekarang ini, phalanya dinikmati pula dalam kehidupan ini
sehingga tiada sisanya lagi untuk dinikmati pada kehidupan yang akan datang.
c. Kriyamana karmaphala
Hasil perbuatan seseorang yang belum
sempat dinikmati pada waktu hidupnya dan akan dinikmati pada masa penjelmaan yang
akan datang.
2. Guru rupaka yaitu orang tua (ibu dan bapak)
yang melahirkan dan membesarkan kita.
Guru Rupaka ialah orangtua (Ibu dan
Bapak) yang mengadakan atau yang ngerupaka kita. Sebagai seorang anak
harus menyadari bahwa jasa orangtua (Ibu dan Bapak) adalah sangat berat, dan
tak ternilai berapa besar jasanya lebih-lebih sang ibu yang mengandung dan
melahirkan kita, dengan bertaruhan nyawa.
Demikian tinggi rasa cinta kasihnya
ibu kepada kita, sehingga ia rela berkorban untuk menjadi badan perantara untuk
memperbanyak umat manusia di mayapada ini.
Dalam Manu Smrti II,227 disebutkan :
“Yam mata pitaram klesam sehete
sambawe nmam natasya niskrtih sakya kartum warsaca tai rapi”
Artinya :
Penderitaan yang dialami oleh orang
tua pada waktu melahirkan anaknya, tidak dapat dibayar walaupun dalam waktu
seratus tahun.
Dalam
Sarasamuscaya, 240
disebutkan :
Mata gurutara bhumeh khat
Tathoccatarah pita
Manah cighrataram wayoccina
Bahutara trnat
Apan lwih temen bwatning ibu,
Sangkeng bwatning lemah, katsangana, tar bari-barin kalinganya, aruhur temen
sang bapa sangke langit, adrs temen ang manah sangkeng bayu, akwh temen
angenangen sangkeng dukut.
Artinya :
Sebab sesungguhnya ibu dikatakan
lebih berat dari ibu perthivi (tanah), karenanya patut menghormati ia dengan
sungguh-sungguh, demikian pula lebih tinggilah sesungguhnya penghormatan kepada
bapak daripada tingginya langit, lebih deras jalannya pikiran dibandingkan
dengan jalannya angin, lebih banyak sesungguhnya angan-angan itu dibandingkan
dengan banyaknya rumput.
Maka seorang anak berusaha melakukan
swadharmanya dengan rela hati melayani segala keperluan orangtuanya. Seorang
anak berkewajiban memberikan atau mengorbankan harta benda, tenaga dan
pikirannya untuk kebahagiaan orangtuanya. Malahan lebih dari itu seorang anak
ikhlas mengorbankan jiwa dan raganya demi untuk berbhakti pada orang tuanya. Di
samping itu masih ada suatu kewajiban seorang anak kepada leluhurnya yaitu
upacara pitra yadnya.
Walaupun upacara pitra yadnya telah
dapat dilakukan sebagai tanda pembayaran hutang kepada orang tuanya, tapi
bukanlah berarti sudah lunas segala kewajiban kita sebagai seorang anak. Namun
yang paling penting pembayaran hutang pada orang tua adalah pada waktu orang
tua masih hidup, yaitu dengan jalan membuat bahagia hati orang tuanya.
Dalam Sarasamuscaya 241 menyebutkan
:
Pita mata ca rajendra
Tusyato yasya dehinah
Iha pretya ca tasyatha
Kirtirbhawati cacwati
“Ikang bhakti makawwitan, paritusta
sang rawwitnya denya phalanya mangke dlaha, langgeng paleman ika ring hayu.
Artinya :
Orang yang setia dan hormat kepada
orang tua, sehingga membuat orang tua menjadi senang dan bahagia, maka anak
yang demikian akan memperoleh kemasyuran dan keselamatan pada kehidupannya
sekarang dan kelak di kemudian hari.
Dari sloka tersebut, maka pahala
yang diperoleh orang yang hormat pada orang tua ialah:
- Kerti yaitu kemasyuran yang baik
- Yusa yaitu panjang
- Bala yaitu kekuatan
- Yasa yaitu jasa atau penghargaan.
Tiga hutang yang dimiliki oleh
seorang anak terhadap orang tuanya yang patut dibayar untuk memenuhi dharma
bhaktinya terhadap orang tua sebagai guru rupaka yaitu :
a) Sarira krta yaitu hutang badan (sarira data)
b) Annadatta yaitu hutang budhi karena orang
tualah yang memberikan makan, minum, pakaian, pendidikan dan lain sebagainya
c) Pranadatta yaitu hutang jiwa dalam arti
pemeliharaan atau kelanjutan hidup.
3. Guru Pengajian, yaitu guru yang mendidik dan
mengajar di sekolah
Tugas guru pengajian cukup berat
tetapi mulia. Guru pengajian berfungsi untuk melanjutkan pendidikan dari Guru
Rupaka, yang bertitik tolak dari segi kerohanian dan juga ilmu pengetahuan lainnya.
Guru pengajian bertugas untuk
mengembangkan intelek dan pengetahuan siswa, demi tercapainya tujuan pendidikan
yang dicita-citakan Negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yaitu
membentuk manusia susila yang cakap, cerdas, dan terampil, berbudi pekerti yang
luhur, dan bertanggung jawab terhadap kesejateraan keluarga, masyarakat, nusa
dan Bangsa.
Tugas yang lebih berat lagi yaitu
tugas dari seorang guru agama yang mengajarkan pengetahuan agama, membentuk
moral serta budi pekerti yang luhur, serta berbhakti kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Tugas Guru Pengajian ialah mendidik
dan mengajarkan ilmu pengetahuan dengan penuh cinta kasih agar anak didiknya
menjadi manusia susila lahir bathin (wahyadyatmika). Hubungan antara
murid dengan guru benar-benar dapat mewujudkan keharmonisan, sebagai halnya
antara seorang ayah dengan anaknya. Seorang murid tidak boleh menjelek-jelekkan
atau menghina guru.
Dalam kitab Nitisastra II,13 disebutkan :
Haywa maninda ring dwija daridra dumaa atemu
Sastra teninda denira kapataka tinemu magong
Yan kita ninda ring guru patinta maparek atemu
Lwirnika wangsa-patra tunibeng watu remek apasah
Artinya :
Janganlah sekali-kali mencela guru,
perbuatan itu akan dapat mendatangkan kecelakaan bagimu. Jika kamu mencela
buku-buku suci, maka kamu akan mendapatkan siksaan dan neraka, jikalau kamu
mencela guru maka kamu akan menemui ajalmu, ibarat piring yang jatuh hancur di
batu.
Dalam
kitab Sarasamuscaya, 238
juga menyebutkan:
Samyan mithyaprawrtte wa
Wartitawyam gurawiha
Guruninda nihantyayurmanusyanam
Na samsayah
Lawan waneh, hay wa juga ngwang mangupat
ring guru, yadyapin salah kene polahnira, kayatnakena juga gurupacarana,
kasiddhaning kasewaning kadi sira, bwat amuharapayusat amangun kapapan,
kanin-daning kadi sira.
Artinya :
Sebagai seorang siswa (murid), tidak boleh mengumpat
guru, walaupun perbuatan beliau keliru, adapun yang harus diusahakan dengan
baik ialah perilaku yang layak kepada guru agar berhasil dalam menimba ilmu.
Bagi yang suka menghina guru, akan menyebabkan dosa dan umur pendek baginya.
Umur untuk belajar (Brahmacari)
Kitab Dharmasastra oleh Rsi
Yajnawalkya menyatakan bahwa umur untuk mulai belajar adalah umur semasih
kanak-kanak yakni umur lima tahun dan selambat-lambatnya umur delapan tahun.
Pada umur delapan tahun seorang anak harus sudah menikmati masa belajar melalui
proses belajar mengajar.
Sedangkan kitab Grihya Sutra
menyatakan bahwa masa belajar berlangsung jangan sampai melampaui batas umur 24
tahun. Ini berarti setelah umur 24 tahun seseorang sudah semestinya
mempersiapkan diri untuk memasuki masa hidup Grhasta.
Dalam kekawin Nitisastra, V. 1 disebutkan “
“Taki-taki ning sewaka guna
widya, smarawisaya rwang puluh ing ayusya, tengahi tuwuh san wacana gogonta,
patilaring atmeng tanu panguroken”.
Artinya :
“Seorang pelajar wajib menuntut ilmu
pengetahuan dan keutamaan, jika sudah berumur 20 tahun orang boleh kawin. Jika
setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik hanya tentang lepasnya nyawa
kita mesti berguru”.
Dari sloka tersebut, dapat
ditegaskan bahwa jenjang pertama adalah Brahmacari saat umur muda kemudian
Grhasta, setelah cukup dewasa, selanjutnya Wanaprastha setelah umur setengah
lanjut dan terakhir bhiksuka setelah umur lanjut.
Tata tertib pada masa belajar
Secara umum tata tertib itu antara
lain :
a. Siswa wajib taat dan bhakti pada
catur guru (guru susrusa)
b. Siswa harus hidup sederhana
c. Berpakaian bersih, rapi, sopan dan
sederhana
d. Makan sederhana (aharalaghawa)
e. Siswa harus bisa dan biasa hidup
jujur
f. Tidur secukupnya dan sepatutnya
g. Tidak menghibur diri
berlebih-lebihan (liar)
h. Tidak kawin selama masa belajar
Belajar berbagai hal dalam hidup ini
baik lisan maupun tertulis hanya secara teori tentu belum dapat menolong manusia
itu sendiri. Oleh karena berbagai ilmu itu patut dicoba dan dipraktekkan dalam
hidup ini, demi kebahagiaan umat manusia. Untuk itu perlu dipraktekkan dan
dilatih secara teratur.
Latihan dalam menghadapi kenyataan
hidup tidak selalu dengan perencanaan seperti halnya bermain catur. Banyak
peristiwa yang dialami seseorang, di luar dugaan dengan dan tanpa persiapan
mental untuk menerimanya. Demikianlah setiap persoalan hidup sekaligus
merupakan latihan lahir bathin bagi seseorang.
Hidup dengan aneka problemnya
merupakan latihan yang sekaligus ujian dalam usaha mencapai kebebasan
tertinggi. Untuk itu setiap orang dituntut harus sadar bahwa hidup ini adalah
perjuangan dan medan untuk latihan, sehingga di dunia inilah manusia harus giat
melatih diri. Dunia dengan segala isinya yang bersifat maya menjadikan hidup
manusia penuh persoalan. Setiap persoalan hidup harus dihadapi dan
diselesaikan. Jangan menghindari kegiatan hidup dan jangan pula lari dari
kenyataan dunia ini.
Di dalam Bhagawadgita III. 4 disebutkan :
Na karmanam anarambhan
Naiskarmyam puruso “snute
Na ca sannyasanad eva
Siddhim samadhigacchati
Artinya :
Tanpa kerja orang tidak akan
mencapai kebebasan pun juga tidak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari
kegiatan kerja.
Dengan demikian kegiatan kerja
sebagai suatu latihan dan kewajiban hidup harus dikerjakan demi tercapainya
kebebasan. Oleh karena itu dalam hidup ini ternyata bukan pelajaran di sekolah
saja mesti dipelajari dan dilatih. Ilmu yang didapat di sekolah hanyalah
sebagian dari teori dan kunci yang harus dikuasai untuk menghadapi persoalan
hidup.
Ilmu bukanlah bekal hidup kelak
dihari tua, tetapi adalah alat untuk menghadapi hidup sekarang. Tentu dalam
pergaulan itu patut disesuaikan dengan desa-kala-patra sehingga tidak menganggu
ketertiban hidup bersama.
Demikianlah dalam hidup ini orang
wajib berbuat dan melatih diri dengan teratur. Sukar akan merasakan kenyamanan
dalam hidup sehari-hari bila orang tidak hidup teratur. Tidak setiap orang
dapat sembahyang dan berdoa setiap hari sesuai petunjuk agama. Hal ini terjadi
bukan karena tidak ada waktu, bukan juga karena tidak tahu, namun hanya karena
hidup tidak teratur dan tidak berusaha untuk melatih diri.
Belajar melalui kitab suci harus
dilakukan sebanyak-banyaknya agar sirnalah kebodohan. Sirnanya kebodohan adalah
langkah awal untuk mengatasi kemarahan, kelobaan yang berarti menurunnya
frekuensi kesengsaraan hidup. Berjuanglah mengejar kebenaran untuk melenyapkan
kebodohan dengan belajar rajin, teratur, dan terus menerus.
4. Guru Wisesa yaitu pemerintah
Sebagai seorang siswa, dan sekaligus
juga merupakan bagian dari anggota masyarakat maka kita harus menghormati dan
menjunjung tinggi martabat bangsa, Negara dan pemerintahannya. Sebaliknya
pemerintah selalu memikirkan dan mengusahakan kesentosaan dan kemakmuran
rakyat.
Di samping itu harus dapat
memberikan perlindungan kepada rakyat dari berbagai problem seperti kesusahan,
kesewenanga (monarkhi), menjalankan hukum dan keadiln tanpa pandang bulu.
Menyelenggarakan pendidikan bagi warganya demi kemajuan dan kecerdasan bangsa.
Tidak hanya rakyat yang cinta, tetapi Tuhan sebagai
pelindung Dharma akan merahmati umat-Nya yang berbudi mulia. Oleh karena itu
ajaran agama Hindu kita diharapkan dalam melaksanakan tugas, berpegang pada motto
dan pedoman sepi ing pamrih rame ing gawe, demi kepentingan masyarakat dan umat
manusia.
0 comments:
Post a Comment