Ringkasan
Cerita Ramayana
Epos Ramayana adalah kisah tentang
petualangan Sang Rama sebagai awatara yang disusun pada tahun 1200 SM
sebagaimana disebutkan dalam cerita rakyat pulau dewata dalam
"asal usul nama Bali". Secara umum biasanya kitab tersebut
disebutkan ditulis oleh Rsi Walmiki (kisah antara Prabu Rama dan
Dewi Sita) dan seluruh isinya dikelompokkan ke dalam Kanda dan
berbentuk syair.
Jumlah syairnya sekitar 24.000 syair
sebagaimana yang disebutkan dalam kutipan weda sumber ajaran Agama Hindu. Epos Ramayana merupakan salah satu
bagian dari itihasa yang memiliki ajaran filsafat yang
sangat tinggi.
Menurut Dadang JSN dkk (2015). Kata Rāmāyana berasal dari bahasa Sanskeṛta yaitu dari kata Rāma dan Ayaṇa yang berarti “Perjalanan Rāmā”, adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Valmiki (Valmiki) atau Balmiki. Rāmāyana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Rāmāyana. Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rāmā yang isinya berbeda dengan kakawin Rāmāyana dalam bahasa Jawa kuna. Di India dalam bahasa Sanskeṛta, Rāmāyana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda yaitu;
1. Bālakānda
Bālakānda atau kitab pertama
Rāmāyana menceritakan sang Daśaratha yang menjadi Raja di Ayodhyā. Sang raja
ini mempunyai tiga istri yaitu: Dewi Kauśalyā, Dewi Kaikeyī dan Dewi Sumitrā.
Dewi Kauśalyā berputrakan Sang Rāmā, Dewi Kaikeyī berputrakan sang Barata, lalu
Dewi Sumitrā berputrakan sang Lakṣamaṇa dan sang Satrugṇa. Pada suatu
hari, Bagawan Visvamitra meminta tolong kepada Prabu Daśaratha untuk menjaga
pertapaannya. Sang Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi membantu mengusir para raksasa yang
mengganggu pertapaan ini. Lalu atas petunjuk para Brahmana maka sang Rāmā pergi
mengikuti sayembara di Wideha dan mendapatkan Dewi Sītā sebagai istrinya.
Ketika pulang ke Ayodhyā mereka dihadang oleh Rāmāparasu, tetapi mereka bisa
mengalahkannya.
2. Ayodhyākāṇḍa
Ayodhyākāṇḍa adalah kitab kedua epos Rāmāyana
dan menceritakan sang Daśaratha yang akan menyerahkan kerajaan kepada sang
Rāmā, tetapi dihalangi oleh Dewi Kaikeyī. Katanya beliau pernah menjanjikan warisan
kerajaan kepada anaknya. Maka sang Rāmā disertai oleh Dewi Sītā dan Lakṣamaṇa
pergi mengembara dan masuk ke dalam hutan selama 14 tahun. Setelah mereka
pergi, maka Prabu Daśaratha meninggal karena sedihnya.
Sementara Rāmā pergi, Bharata baru saja pulang
dari rumah pamannya dan tiba di Ayodhyā. Ia mendapati bahwa ayahnya telah wafat
serta Rāmā tidak ada di istana. Kaikeyī menjelaskan bahwa Bharatalah yang kini
menjadi raja, sementara Rāmā mengasingkan diri ke hutan. Bharata menjadi sedih
mendengarnya, kemudian menyusul Rāmā. Harapan Kaikeyī untuk melihat putranya
senang menjadi raja ternyata sia-sia. Di dalam hutan, Bharata mencari Rāmā dan
memberi berita duka karena Prabu Daśaratha telah wafat. Ia membujuk Rāmā agar
kembali ke Ayodhyā untuk menjadi raja. Rakyat juga mendesak demikian, namun
Rāmā menolak karena ia terikat oleh perintah ayahnya. Untuk menunjukkan jalan
yang benar, Rāmā menguraikan ajaranajaran agama kepada Bharata. Rāmā
menyerahkan sandalnya. Akhirnya Bharata membawa sandal milik Rāmā dan
meletakkannya di singasana. Dengan lambang tersebut, ia memerintah Ayodhyā atas
nama Rāmā.
3. Āraṇyakāṇḍa
Selama masa
pembuangan, Lakṣmana membuat pondok untuk Rāmā dan Sītā. Ia juga melindungi
mereka di saat malam sambil berbincang-bincang dengan para pemburu di hutan.
Saat menjalani masa pengasingan di hutan, Rāmā dan Lakṣmana didatangi seorang
raksasa bernama Surpanaka. Ia mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik
dan menggoda Rāmā dan Lakṣmana. Rāmā menolak untuk menikahinya dengan alasan bahwa
ia sudah beristri, maka ia menyuruh agar Surpanaka membujuk Lakṣmana, namun
Lakṣmana pun menolak. Surpanaka iri melihat kecantikan Sītā dan hendak
membunuhnya. Dengan sigap Rāmā melindungi Sītā dan Lakṣmana mengarahkan
pedangnya kepada Surpanaka yang hendak menyergapnya. Hal itu membuat hidung
Surpanaka terluka. Surpanaka mengadukan peristiwa tersebut kepada kakaknya yang
bernama Kara. Kara marah
terhadap Rāmā yang telah melukai adiknya dan hendak membalas dendam.
Dengan angkatan perang yang luar
biasa, Kara dan sekutunya menggempur Rāmā, namun mereka semua gugur. Akhirnya
Surpanaka melaporkan keluhannya kepada Rāvaṇa di Kerajaan Alengka. Surpanaka
mengadu kakaknya sang Rāvaṇa sembari memprovokasinya untuk menculik Dewi Sītā
yang katanya sangat cantik. Sang Rāvaṇapun pergi diiringi oleh Marica. Marica
menyamar menjadi seekor kijang emas yang menggoda Dewi Sītā. Dewi Sītā tertarik
dan meminta Rāmā untuk menangkapnya.
Pada suatu hari, Sītā melihat seekor
kijang yang sangat lucu sedang melompat-lompat di halaman pondoknya. Rāmā dan
Lakṣmana merasa bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, namun atas desakan
Sītā, Rāmā memburu kijang tersebut sementara Lakṣmana ditugaskan untuk menjaga
Sītā. Dewi Sītā ditinggalkannya dan dijaga oleh Lakṣamaṇa. Rāmāpun pergi memburunya,
tetapi si Marica sangat gesit. Kijang yang diburu Rāmā terus mengantarkannya ke
tengah hutan.
Karena Rāmā merasa bahwa kijang
tersebut bukan kijang biasa, ia memanahnya. Seketika hewan tersebut berubah
menjadi Marica, patih Sang Rāvaṇa. Saat Rāmā memanah kijang kencana tersebut,
hewan itu berubah menjadi rakshasa Marica, dan mengerang dengan suara keras.
Sītā yang merasa cemas, menyuruh Lakṣmana agar menyusul kakaknya ke hutan.
Karena teguh dengan tugasnya untuk melindungi Sītā, Lakṣmana menolak secara
halus.
Kemudian Sītā berprasangka bahwa
Lakṣmana memang ingin membiarkan kakaknya mati di hutan sehingga apabila Sītā
menjadi janda, maka Lakṣmana akan menikahinya. Mendengar perkataan Sītā,
Lakṣmana menjadi sakit hati dan bersedia menyusul Rāmā, namun sebelumnya ia
membuat garis pelindung dengan anak panahnya agar makhluk jahat tidak mampu
meraih Sītā. Garis pelindung tersebut bernama Lakṣmana Rekha, dan sangat ampuh
melindungi seseorang yang berada di dalamnya, selama ia tidak keluar dari garis
tersebut.
Saat Lakṣmana meinggalkan Sītā
sendirian, raksasa Rāvaṇa yang menyamar sebagai seorang brahmana muncul dan
meminta sedikit air kepada Sītā. Karena Rāvaṇa tidak mampu meraih Sītā yang
berada dalam Lakshmana Rekha, maka ia meminta agar Sītā mengulurkan tangannya.
Pada saat tangan Rāvaṇa memegang tangan Sītā, ia segera menarik Sītā keluar
dari garis pelindung dan menculiknya. Lakṣmana menyusul Rāmā ke hutan, Rāmā
terkejut karena Sītā ditinggal sendirian. Ketika mereka berdua pulang, Sītā
sudah tidak ada. Rāvaṇa bertemu dengan seekor burung sakti sang Jatayu tetapi
Jatayu kalah dan sekarat. Lakṣamaṇa yang sudah menemukan Rāmā menjumpai Jatayu
yang menceritakan kisahnya sebelum ia mati.
4. Kiṣkindhakāṇḍa
Setelah mendapati bahwa Sītā sudah
menghilang, perasaan Rāmā terguncang. Lakṣmana mencoba menghibur Rāmā dan
memberi harapan. Mereka berdua menyusuri pelosok gunung, hutan, dan
sungai-sungai. Akhirnya mereka menemukan darah tercecer dan pecahan-pecahan
kereta, seolah-olah pertempuran telah terjadi. Rāmā berpikir bahwa itu adalah
pertempuran raksasa yang memperebutkan Sītā, namun tak lama kemudian mereka
menemukan seekor burung tua sedang sekarat. Burung tersebut bernama Jatayu,
sahabat Raja Daśaratha. Rāmā mengenal burung tersebut dengan baik dan dari penjelasan
Jatayu, Rāmā tahu bahwa Sītā diculik Rāvaṇa. Setelah memberitahu Rāmā, Jatayu
menghembuskan napas terakhirnya. Sesuai aturan agama, Rāmā mengadakan upacara
pembakaran jenazah yang layak bagi Jatayu.
Dalam perjalanan menyelamatkan Sītā,
Rāmā dan Lakṣmana bertemu raksasa aneh yang bertangan panjang. Atas instruksi
Rāmā, mereka berdua memotong lengan raksasa tersebut dan tubuhnya dibakar
sesuai upacara. Setelah dibakar, raksasa tersebut berubah wujud menjadi seorang
dewa bernama Kabanda. Atas petunjuk Sang Dewa, Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi ke tepi
sungai Pampa dan mencari Sugrivā di bukit Resyamuka karena Sugrivā-lah yang
mampu menolong Rāmā. Dalam perjalanan mereka beristirahat di asrama Sabari,
seorang wanita tua yang dengan setia menantikan kedatangan mereka berdua.
Sabari menyuguhkan buah-buahan kepada Rāmā dan Lakṣmana. Setelah menyaksikan
wajah kedua pangeran tersebut dan menjamu mereka, Sabari meninggal dengan
tenang dan mencapai surga.
Dalam masa
petualangan mencari Sītā, Rāmā dan Lakṣmana menyeberangi sungai Pampa dan pergi
ke gunung Resyamuka, sampai akhirnya tiba di kediaman para wanara dengan
rajanya bernama Sugrivā. Sugrivā takut saat melihat Rāmā dan Lakṣmana sedang
mencari-cari sesuatu, karena ia berpikir bahwa mereka adalah utusan Subali yang
dikirim untuk mencari dan membunuh Sugrivā. Kemudian Sugrivā mengutus
keponakannya yang bernama Hanumān untuk menyelidiki kedatangan Rāmā dan
Lakṣmana. Sebelum berjumpa dengan Sugrivā, Rāmā bertemu dengan Hanumān yang
menyamar menjadi brahmana. Setelah bercakap-cakap agak lama, Hanumān
menampakkan wujud aslinya. Setelah mengetahui bahwa Rāmā dan Lakṣmana adalah
orang baik, Hanumān mempersilakan mereka untuk menemui Sugrivā. Di hadapan
Rāmā, Sugrivā menyambut kedatangan Rāmā di istananya. Tak berapa lama kemudian
mereka saling menceritakan masalah masing-masing.
Pada suatu
ketika, rakshasa bernama Mayawi datang ke Kiskenda untuk menantang berkelahi
dengan Subali. Subali yang tidak pernah menolak jika ditantang berkelahi
menyerang Mayawi dan diikuti oleh Sugrivā . Melihat lawannya ada dua orang, raksasa tersebut lari ke
sebuah gua besar. Subali mengikuti raksasa tersebut dan menyuruh Sugrivā
menunggu di luar. Beberapa lama kemudian, Sugrivā mendengar suara teriakan
diiringi dengan darah segar yang mengalir keluar. Karena mengira bahwa Subali
telah tewas, Sugrivā menutup gua tersebut dengan batu yang sangat besar agar
sang raksasa tidak bisa keluar. Kemudian Sugrivā kembali ke Kiskenda dan
didesak untuk menjadi raja karena Subali telah dianggap tewas.
Saat Sugrivā
menikmati masa-masa kekuasaannya, Subali datang dan marah besar karena Sugrivā
telah mengurungnya di dalam gua. Merasa bahwa ia dikhianati, Subali mengusir
Sugrivā jauh-jauh dan merebut istrinya pula. Sugrivā dengan rendah hati minta
maaf kepada Subali, namun permohonan maafnya tidak diterima Subali. Akhirnya
Subali menjadi raja Kiṣkindha sedangkan Sugrivā beserta pengikutnya yang setia
bersembunyi di sebuah daerah yang dekat dengan asrama Ṛsī Matanga, dimana
Subali tidak akan berani untuk menginjakkan kakinya di daerah itu.
Akhirnya Rāmā dan Sugrivā mengadakan
perjanjian bahwa mereka akan saling tolong menolong. Rāmā berjanji akan merebut
kembali Kerajaan Kiskenda dari Subali sedangkan Sugrivā berjanji akan membantu
Rāmā mencari Sītā. Akhirnya Rāmā dan Sugrivā menjalin persahabatan dan berjanji
akan saling membantu satu sama lain. Setelah menyusun suatu rencana, mereka
datang ke Kiskenda.
Di pintu
gerbang istana Kiskenda, Sugrivā berteriak menantang Subali. Karena merasa
marah, Subali keluar dan bertarung dengan Sugrivā. Setelah petarungan sengit
berlangsung beberapa lama, Sugrivā makin terdesak sementara Subali makin
garang. Akhirnya Rāmā muncul untuk menolong Sugrivā dengan melepaskan panah
saktinya ke arah Subali. Panah
sakti tersebut menembus dada Subali yang sekeras intan kemudian membuatnya
jatuh tak berkutik. Saat sedang sekarat, Subali memarahi Rāmā yang mencampuri
urusannya. Ia juga berkata bahwa Rāmā tidak mengetahui sikap seorang ksatria.
Rāmā tersenyum mendengar penghinaan Subali kemudian menjelaskan bahwa andai
saja Subali tidak bersalah, tentu panah yang dilepaskan Rāmā tidak akan
menembus tubuhnya, melainkan akan menjadi bumerang bagi Rāmā. Setelah mendengar
penjelasan Rāmā, Subali sadar akan dosa dan kesalahannya terhadap adiknya. Akhirnya
ia merestui Sugrivā menjadi Raja Kiskenda serta menitipkan anaknya yang bernama
Anggada untuk dirawat oleh Sugrivā . Tak berapa lama kemudian, Subali
menghembuskan napas terakhirnya.
Setelah Subali wafat, Sugrivā
bersenang-senang di istana Kiskenda, sementara Rāmā dan Lakṣmana menunggu kabar
dari Sugrivā di sebuah gua. Karena sudah lama menunggu, Rāmā mengutus Lakṣmana
untuk memperingati Sugrivā agar memenuhi janjinya menolong Sītā. Tiba di pintu
gerbang Kiskenda, Sugrivā yang diwakili Hanumān meminta maaf kepada Rāmā karena
melupakan janji mereka untuk mencari Sītā. Akhirnya Sugrivā mengerahkan
prajuritnya yang terbaik untuk menjelajahi bumi demi menemukan Sītā. Prajurit
pilihan Sugrivā terdiri atas Hanumān, Nila, Jembawan, Anggada, Gandamadana, dan
lain-lain.
Saat bertemu dengan Rāmā dan
Lakṣmana, Hanumān merasakan ketenangan. Ia tidak melihat adanya tanda-tanda
permusuhan dari kedua pemuda itu. Rāmā dan Lakṣmana juga terkesan dengan etika
Hanumān. Kemudian mereka bercakap-cakap dengan bebas. Mereka menceritakan
riwayat hidupnya masing-masing. Rāmā juga menceritakan keinginannya untuk
menemui Sugrivā . Karena tidak curiga lagi kepada Rāmā dan Lakṣmana, Hanumān
kembali ke wujud asalnya dan mengantar Rāmā dan Lakṣmana menemui Sugrivā.
Mereka menempuh perjalanan
berhari-hari dan menelusuri sebuah gua, kemudian tersesat dan menemukan kota
yang berdiri megah di dalamnya. Atas keterangan Swayampraba yang tinggal di
sana, kota tersebut dibangun oleh arsitek Mayasura dan sekarang sepi karena
Maya pergi ke alam para Dewa. Lalu Hanumān menceritakan maksud perjalanannya
dengan panjang lebar kepada Swayampraba. Atas bantuan Swayampraba yang sakti,
Hanumān dan wanara lainnya lenyap dari gua dan berada di sebuah pantai dalam
sekejap.
Di pantai tersebut, Hanumān dan
wanara lainnya bertemu dengan Sempati, burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk
sendirian di pantai tersebut sambil menunggu bangkai hewan untuk dimakan.
Karena ia mendengar percakapan para wanara mengenai Sītā dan kematian Jatayu,
Sempati menjadi sedih dan meminta agar para wanara menceritakan kejadian yang
sebenarnya terjadi. Anggada menceritakan dengan panjang lebar kemudian meminta
bantuan Sempati. Atas keterangan Sempati, para wanara tahu bahwa Sītā ditawan
di sebuah istana yang teretak di Kerajaan Alengka. Kerajaan tersebut diperintah
oleh raja raksasa bernama Rāvaṇa. Para wanara berterima kasih setelah menerima
keterangan Sempati, kemudian mereka memikirkan cara agar sampai di Alengka.
Karena bujukan
para wanara, Hanumān teringat akan kekuatannya dan terbang menyeberangi lautan
agar sampai di Alengka. Setelah ia menginjakkan kakinya di sana, ia menyamar
menjadi monyet kecil dan mencari-cari Sītā. Ia melihat Alengka sebagai benteng
pertahanan yang kuat sekaligus kota yang dijaga dengan ketat. Ia melihat
penduduknya menyanyikan mantra-mantra Veda dan lagu pujian kemenangan kepada
Rāvaṇa. Namun tak jarang ada orang-orang
bermuka kejam dan buruk dengan senjata lengkap. Kemudian ia datang ke istana
Rāvaṇa dan mengamati wanitawanita cantik yang tak terhitung jumlahnya, namun ia
tidak melihat Sītā yang sedang merana. Setelah mengamati ke sana-kemari, ia
memasuki sebuah taman yang belum pernah diselidikinya. Di sana ia melihat
wanita yang tampak sedih dan murung yang diyakininya sebagai Sītā.
5.
Sundarakāṇḍa
Sundarakāṇḍa adalah kitab kelima
Rāmāyana. Dalam kitab ini diceritakan bagaimana sang Hanumān datang ke
Alengkapura mencari tahu akan keadaan Dewi Sītā dan membakar kota Alengkapura
karena iseng. Inti dari kisah Rāmāyana adalah penculikan Sītā oleh Rāvaṇa raja
Kerajaan Alengka yang ingin mengawininya. Penculikan ini berakibat dengan
hancurnya Kerajaan Alengka oleh serangan Rāmā yang dibantu bangsa Wanara dari
Kerajaan Kiskenda.
Kemudian Hanumān melihat Rāvaṇa merayu Sītā.
Setelah Rāvaṇa gagal dengan rayuannya dan pergi meninggalkan Sītā, Hanumān
menghampiri Sītā dan menceritakan maksud kedatangannya. Mulanya Sītā curiga,
namun kecurigaan Sītā hilang saat Hanumān menyerahkan cincin milik Rāmā.
Hanumān juga menjanjikan bantuan akan segera tiba. Hanumān menyarankan agar
Sītā terbang bersamanya kehadapan Rāmā, namun Sītā menolak. Ia mengharapkan
Rāmā datang sebagai ksatria sejati dan datang ke Alengka untuk menyelamatkan
dirinya. Kemudian Hanumān mohon restu dan pamit dari hadapan Sītā. Sebelum
pulang ia memporak-porandakan taman Asoka di istana Rāvaṇa. Ia membunuh ribuan
tentara termasuk prajurit pilihan Rāvaṇa seperti Jambumali dan Aksha. Akhirnya
ia dapat ditangkap Indrajit dengan senjata Brahma Astra. Senjata itu memilit
tubuh Hanumān. Namun kesaktian Brahma Astra lenyap saat tentara raksasa
menambahkan tali jerami. Indrajit marah bercampur kecewa karena Brahma Astra
bisa dilepaskan Hanumān kapan saja, namun Hanumān belum bereaksi karena
menunggu saat yang tepat.
Ketika Rāvaṇa hendak memberikan
hukuman mati kepada Hanumān, Vibhīsaṇa membela Hanumān agar hukumannya
diringankan, mengingat Hanumān adalah seorang utusan. Kemudian Rāvaṇa
menjatuhkan hukuman agar ekor Hanumān dibakar. Melihat hal itu, Sītā berdo’a
agar api yang membakar ekor Hanumān menjadi sejuk. Karena do’a Sītā kepada Dewa
Agni terkabul, api yang membakar ekor Hanumān menjadi sejuk. Lalu ia memberontak
dan melepaskan Brahma Astra yang mengikat dirinya. Dengan ekor menyala-nyala
seperti obor, ia membakar kota Alengka. Kota Alengka pun menjadi lautan api.
Setelah menimbulkan kebakaran besar, ia menceburkan diri ke laut agar api di
ekornya padam. Penghuni surga memuji keberanian Hanumān dan berkata bahwa
selain kediaman Sītā, kota Alengka dilalap api. Dengan membawa kabar gembira,
Hanumān menghadap Rāmā dan menceritakan keadaan Sītā. Setelah itu, Rāmā
menyiapkan pasukan wanara untuk menggempur Alengka.
6. Yuddhakāṇḍa
Saat Rāmā dan tentaranya
bersiap-siap menuju Alengka, Vibhīsaṇa, adik Sang Rāvaṇa, datang menghadap Rāmā
dan mengaku akan berada di pihak Rāmā. Setelah ia menjanjikan persahabatan yang
kekal, Rāmā menobatkannya sebagai Raja Alengka meskipun Rāvaṇa masih hidup dan
belum dikalahkan. Kemudian Rāmā dan pemimpin wanara lainnya berunding untuk
memikirkan cara menyeberang ke Alengka mengingat tidak semua prajuritnya bisa
terbang. Akhirnya Rāmā menggelar suatu upacara di tepi laut untuk memohon bantuan
dari Dewa Baruna. Selama tiga hari Rāmā berdo’a dan tidak mendapat jawaban,
akhirnya kesabarannya habis. Kemudian ia mengambil busur dan panahnya untuk
mengeringkan lautan. Melihat laut akan binasa, Dewa Baruna datang menghadap
Rāmā dan memohon maaf atas kesalahannya. Dewa Baruna menyarankan agar para
wanara membuat jembatan besar tanpa perlu mengeringkan atau mengurangi
kedalaman lautan. Nila ditunjuk sebagai arsitek jembatan tersebut. Setelah
bekerja dengan giat, jembatan tersebut terselesaikan dalam waktu yang singkat
dan diberi nama “Situbanda”.
Setelah jembatan rampung, Rāmā dan
pasukannya menyeberang ke Alengka. Pada pertempuran pertama, Anggada
menghancurkan menara Alengka. Untuk meninjau kekuatan musuh, Rāvaṇa segera
mengirim mata-mata untuk menyamar menjadi wanara dan berbaur dengan mereka.
Penyamaran mata-mata Rāvaṇa sangat rapi sehingga banyak yang tidak tahu,
kecuali Vibhīsaṇa. Kemudian Vibhīsaṇa menangkap mata-mata tersebut dan
membawanya ke hadapan Rāmā. Di hadapan Rāmā, mata-mata tersebut
memohon pengampunan dan berkata mereka hanya menjalankan perintah. Akhirnya
Rāmā mengizinkan mata-mata tersebut untuk melihat-lihat kekuatan tentara Rāmā
dan berpesan agar Rāvaṇa segera mengambalikan Sītā. Mata-mata tersebut sangat
terharu dengan kemurahan hati Rāmā dan yakin bahwa kemenangan akan berada di
pihak Rāmā.
Ketika Indrajit
melakukan ritual untuk memperoleh kekuatan, Lakṣmana datang bersama pasukan
wanara dan merusak lokasi ritual. Indrajit menjadi marah kemudian perang
terjadi. Lakṣmana yang tidak ingin perang terjadi begitu lama segera melepaskan
senjata panah Indrāstra. Senjata tersebut memutuskan leher Indrajit dari
badannya sehingga ia tewas seketika. Atas jasanya tersebut, Rāmā memuji
Lakṣmana serta para dewa dan gandarwa menjatuhkan bunga dari surga.
Dalam
pertempuran besar antara Rāmā dan Rāvaṇa, Hanumān membasmi banyak tentara
rakshasa. Saat Rāmā, Lakṣmana, dan bala tentaranya yang lain terjerat oleh
senjata Nagapasa yang sakti, Hanumān pergi ke Himalaya atas saran Jembawan
untuk menemukan tanaman obat. Karena tidak tahu persis bagaimana ciri-ciri
pohon yang dimaksud, Hanumān memotong gunung tersebut dan membawa potongannya
ke hadapan Rāmā. Setelah Rāmā dan prajuritnya pulih kembali, Hanumān
melanjutkan pertarungan dan membasmi banyak pasukan rakshasa.
Pada hari
pertempuran terahir, Dewa Indra mengirim kereta perangnya dan meminjamkannya
kepada Rāmā. Kusir kereta tersebut bernama Matali, siap melayani Rāmā. Dengan
kereta ilahi tersebut, Rāmā melanjutkan peperangan yang berlangsung dengan
sengit. Kedua pihak sama-sama kuat dan mampu bertahan. Akhirnya Rāmā melepaskan
senjata Brahma Astra ke dada Rāvaṇa. Senjata sakti tersebut mengantar Rāvaṇa
menuju kematiannya. Seketika bunga-bunga bertaburan dari surga karena
menyaksikan kemenangan Rāmā. Vibhīsaṇa meratapi jenazah kakaknya dan sedih
karena nasihatnya tidak dihiraukan. Sesuai aturan agama, Rāmā mengadakan
upacara pembakaran jenazah yang layak bagi Rāvaṇa kemudian memberikan wejangan
kepada Vibhīsaṇa untuk membangun kembali Negeri Alengka. Setelah Rāvaṇa
dikalahkan.
Berkat bantuan
Sugrivā raja bangsa Wanara, serta Vibhīsaṇa adik Rāvaṇa, Rāmā berhasil
mengalahkan Kerajaan Alengka. Setelah kematian Rāvaṇa, Rāmā pun menyuruh
Hanumān untuk masuk ke dalam istana menjemput Sītā. Hal ini sempat membuat Sītā
kecewa karena ia berharap Rāmā yang datang sendiri dan melihat secara langsung
tentang keadaannya. Setelah mandi dan bersuci, Sītā menemui Rāmā. Rupanya Rāmā
merasa sangsi terhadap kesucian Sītā karena istrinya itu tinggal di dalam
istana musuh dalam waktu yang cukup lama. Menyadari hal itu, Sītā pun menyuruh
Lakṣmana untuk mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya dan membuat api
unggun. Tak lama kemudian Sītā melompat ke dalam api tersebut. Dari dalam api
tiba-tiba muncul Dewa Brahma dan Dewa Agni mengangkat tubuh Sītā dalam keadaan
hidup. Hal ini membuktikan kesucian Sītā sehingga Rāmā pun dengan lega
menerimanya kembali.
Sītā kembali ke
pelukan Rāmā dan mereka kembali ke Ayodhyā bersama Lakṣmana, Sugrivā, Hanumān
dan tentara wanara lainnya. Di Ayodhyā, mereka disambut oleh Bharata dan
Kaikeyī. Di sana para wanara diberi hadiah oleh Rāmā atas jasa-jasanya. Di
Ayodhyāpura mereka disambut oleh prabu Barata dan beliau menyerahkan
kerajaannya kepada sang Rāmā. Śrī Rāmā lalu memerintah di Ayodhyāpura dengan
bijaksana.
7. Uttarakāṇḍa
Setelah Rāvaṇa
berhasil dikalahkan, Rāmā, Lakṣmana dan Sītā beserta para wanara pergi ke
Ayodhyā. Di sana mereka disambut oleh Bharata dan Kaikeyī. Lakṣmana hendak
dianugerahi Yuwaraja oleh Rāmā, namun ia menolak karena merasa Bharata lebih
pantas menerimanya dibandingkan dirinya, sebab Bharata memerintah Ayodhyā
dengan baik dan bijaksana selama Rāmā dan Lakṣmana tinggal di hutan.
Setelah
pertempuran besar melawan Rāvaṇa berakhir, Rāmā juga hendak memberikan hadiah untuk
Hanumān. Namun Hanumān menolak karena ia hanya ingin agar Śrī Rāmā bersemayam
di dalam hatinya. Rāmā mengerti maksud Hanumān dan bersemayam secara rohaniah
dalam jasmaninya. Akhirnya Hanumān pergi bermeditasi di puncak gunung
mendo’akan keselamatan dunia.
Setelah pulang
ke Ayodhyā, Rāmā, Sītā, dan Lakṣmana disambut oleh Bharata dengan upacara
kebesaran. Bharata kemudian menyerahkan takhta kerajaan kepada Rāmā sebagai
raja. Dalam pemerintahan Rāmā terdengar desas-desus di kalangan rakyat jelata
yang meragukan kesucian Sītā di dalam istana Rāvaṇa. Rāmā merasa tertekan
mendengar suara sumbang tersebut. Ia akhirnya memutuskan untuk membuang Sītā
yang sedang mengandung ke dalam hutan. Dalam pembuangannya itu, Sītā ditolong
seorang Ṛsī bernama Valmiki dan diberi tempat tinggal.
Beberapa waktu kemudian, Sītā melahirkan
sepasang anak kembar diberi nama Lawa dan Kusa. Keduanya dibesarkan dalam
asrama Ṛsī Valmiki dan diajari nyanyian yang mengagungkan nama Rāmācandra, ayah
mereka. Suatu ketika Rāmā mengadakan upacara Aswamedha. Ia melihat dua pemuda
kembar muncul dan menyanyikan sebuah lagu indah yang menceritakan tentang kisah
perjalanan dirinya dahulu. Rāmā pun menyadari kalau kedua pemuda yang tersebut
yang tidak lain adalah Lawa dan Kusa merupakan anak-anaknya sendiri.
Atas permintaan Rāmā melalui Lawa dan Kusa, Sītā
pun dibawa kembali ke Ayodhyā. Namun masih saja
terdengar desas-desus kalau kedua anak kembar tersebut bukan anak kandung Rāmā.
Mendengar hal itu, Sītā pun bersumpah jika ia pernah berselingkuh maka bumi
tidak akan sudi menerimanya. Tiba-tiba bumi pun terbelah. Dewi Pertiwi muncul
dan membawa Sītā masuk ke dalam tanah. Menyaksikan hal itu Rāmā sangat sedih.
Ia pun menyerahkan takhta Ayodhyā dan setelah itu bertapa di Sungai Gangga
sampai akhir hayatnya.
0 comments:
Post a Comment